-->

Kisah Taubatnya Sayyidina Ka'ab bin Malik Radhiyallahu 'anhu


Assalamu'alaikum
بِسْـــــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

Kisah Taubatnya Sayyidina Ka'ab bin Malik Radhiyallahu 'anhu
Karena Tidak Ikut Dalam Perang Tabuk 

    Dalam Perang Tabuk, selain orang-orang yang udzu, ada lebih dari delapan puluh orang munafik Madinah yang tidak menyertai perang itu. Sejumlah itu pula orang-orang penghuni padang sahara yang tidak mengikuti perang itu. Mereka bukan saja tidak mengikuti perang, bahkan mereka menghalang-halangi yang lainnya dengan berkata,  "Janganlah kalian berangkat perang pada musim panas."  Allah Subhaanahu wata'ala menjawab perkataan mereka dengan firman-Nya:

Kisah Taubatnya Sayyidina Ka'ab bin Malik Radhiyallahu 'anhu   Karena Tidak Ikut Dalam Perang Tabuk
Gambar ilustrasi

فَرِحَ الْمُخَلَّفُونَ بِمَقْعَدِهِمْ خِلٰفَ رَسُولِ اللَّه وَكَرِهُوٓا أَنْ يُجٰهِدُوا بِأَمْوٰلِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَقَالُوا لَا تَنْفِرُوا فِى الْحَرِّ  ۗ  قُلْ نَارُ جَهَنَّمَ أَشَدُّ حَرًّا  ۚ  لَّوْ كَانُوا يَفْقَهُونَ ۝


"Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang), merasa gembira dengan duduk-duduk diam sepeninggal Rasulullah. Mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah dan mereka berkata, Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini. Katakanlah (Muhammad), Api neraka Jahanam lebih panas, jika mereka mengetahui."
(QS. At-Taubah 9: Ayat 81)

Selain mereka, ada tiga orang shahabat yang tidak menyertai perang tersebut tanpa udzur yang kuat. Mereka adalah Sayyidina Ka'ab bin Malik Radhiyallahu 'anhu, Sayyidina Hilal bin Umyyah Radhiyallahu 'anhu, dan Sayyidina Murarah bin Rabi' Radhiyallahu 'anhu. Mereka tidak mengikuti Perang Tabuk bukan karena kemunafikan, juga bukan karena udzur, bahkan mereka sebenarnya dalam kelapangan hidup.

      Mengenal ketidak ikut sertanya, Sayyidina Ka'ab Radhiyallahu 'anhu menuturkan sendiri kisahnya secara terperinci. Kisahnya akan diceritakan dalam lembaran berikut ini. Adapun Sayyidina Murarah bin Rabi' Radhiyallahu 'anhu, ketika itu kebun miliknya akan panen besar. Ia berpikir,  "Jika kali ini aku tidak menyertainya, kupikir tidak mengapa."  Karena pertimbangan itulah ia tidak menyertainya. Namun, ketika menyadari bahwa kebun kurmanyalah yang menyebabkan ia tidak ikut ke Tabuk, ia segerah menyedekahkan seluruh kebunnya itu.

Sedangkan yang menyebabkan Sayyidina Hilal bin Umayyah Radhiyallahu 'anhu tidak menyertai peperangan itu, karena ketika itu seluruh kaum kerabatnya yang merantau diberbagai tempat sedang berkumpul.  Ia juga berpikiran sama dengan Sayyidina Murarah bin Rabi' Radhiyallahu 'anhu, bahwa ia telah menyertai banyak peperangan sebelumnya. Jika pada kesempatan ini ia tidak menyertainya, tentu tidak mengapa. Atas pertimbangan itulah dia tidak menyertai peperangan tersebut. Setelah sadar, ia segera memutuskan hubungan dengan seluruh kaum kerabatnya. Karena hubungan dengan merekalah yang menjadikan ia tidak menyertai peperangan tersebut.

       Kisah tentang Sayyidina Ka'ab bin Malik Radhiyallahu 'anhu telah banyak ditulis dalam kitab-kitab hadits. Ia menerangkan kisahnya sendiri dengan rinci.

Ia berkisah sebagai berikut.

        "Belum pernah aku mendapatkan kelapangan dan kekayaan seperti saat-saat menjelang Perang Tabuk. Saat itu, aku memiliki dua ekor unta. Padahal sebelumnya, aku tidak memiliki dua ekor unta sekaligus. Sudah menjadi kebiasaan Baginda Nabi ﷺ, jika akan berperang, beliau tidak pernah memberitahukan tujuannya, bahkan beliau menanyakan keadaan daerah lain (untuk merahasiakan tujuan yang sebenarnya sehingga tidak diketahui oleh musuh). Namun, pada perang kali ini, karena cuaca yang begitu panas dan jarak yang begitu jauh serta musuh yang jumlahnya begitu besar, maka Baginda Rasulullah ﷺ mengumumkan secara terang-terangan tujuan pasukan Kaum Muslimin, agar mereka bersiap-siap.

        Ketika, itu banyak sekali kaum Muslimin yang akan menyertai Baginda Nabi ﷺ, sehingga sulit menuliskan semua nama mereka dalam daftar. Mereka yang ingin menyembunyikan diri untuk tidak ikut pun, tidak mudah diketahui, karena banyaknya jumlah pasukan. Bertepatan pada masa itu kebun-kebun kurma di Madinah akan panen besar.

Kisah Taubatnya Sayyidina Ka'ab bin Malik Radhiyallahu 'anhu   Karena Tidak Ikut Dalam Perang Tabuk
Gambar ilustrasi



Setiap pagi, aku ingin mempersiapkan perlengkapan perang. Namun, sampai sore hari, keinginanku belum terlaksana. Terlintas dalam pikiranku, bahwa aku telah mendapatkan kelapangan, sehingga jika aku bersungguh-sungguh, kapan saja aku tentu dapat menyusul pasukan itu. Akhirnya, ketika Baginda Nabi ﷺ berangkat ke medan perang beserta Kaum Muslimin, aku masih belum membuat persiapan.

Lagi-lagi terpikir olehku bahwa dengan satu dua hari persiapan, aku tentu dapat menyusul. Seperti itulah aku menunda-nunda hingga diperkirakan Baginda Nabi ﷺ telah tiba ditempat tujuan. Saat itu, aku telah berusaha, namun ternyata perlengkapan belum siap juga. Ketika kuperhatikan keadaan sekeliling Madinah Tayyibah, ternyata yang kulihat hanyalah orang-orang yang sudah dikenal kemunafikannya dan orang-orang yang udzur.

       Setelah Baginda Nabi ﷺ beserta rombongan tiba di Tabuk, beliau bertanya,  'Mengapa Ka'ab bin Malik tidak kelihatan?'  Seorang shahabat menjawab,  'Ya Rasulullah, harta dan kesejahteraannya telah memikat dirinya.'  Sayyidina Mu'adz Radhiyallahu 'anhu menyahut,  'Itu tidak benar ! Selama ini, kita mengenal Ka'ab seorang yang baik.'  Namun, Baginda Nabi ﷺ diam saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

       Beberapa hari kemudian, kudengar berita kepulangan Baginda Nabi ﷺ. Aku langsung merasa takut dan cemas. Terlintas di dalam hati untuk memberi alasan bohong, semata-mata untuk menghindari kemarahan Baginda Nabi ﷺ benar-benar telah tiba, maka keputusan hatiku adalah, tanpa kejujuran aku tidak akan selamat. Aku pun bertekad akan berkata jujur.

       Telah menjadi kebiasaan muliah Baginda Nabi ﷺ, setiap kembali dari perjalanan, mula-mula beliau  akan masuk Masjid, lalu Shalat Tahiyyatul Masjid dua rakaat, dan duduk sejenak memberi kesempatan kepada orang-orang yang ingin bertemu. Begitu Baginda Nabi ﷺ duduk, maka kaum munafik langsung mendatangi Baginda  Nabi ﷺ dan mengemukakan berbagai alasan serta sumpah palsu mereka. Secara lahir, Baginda Nabi ﷺ menerima alsan mereka, namun secara batin, beliau menyerahkan kepada Allah Subhaanahu wata'ala. Kemudian tibalah giliranku, aku mendekati beliau dan memberi salam kepada beliau. Sambil berpaling, beliau tersenyum hambar tanda kemarahan. Aku berkata,  'Ya Rasulullah, engkau berpaling dariku, aku bersumpah, aku bukan munafik dan tidak ada keraguan sedikit pun dalam keimananku.'  Beliau bersabda,  'Kemarilah !' Aku pun mendekatinya. Beliau berkata,  'Apa yang menghalangi kamu? Bukankah kamu sudah membeli unta-unta?'  Jawabku,  'Ya Rasulullah, jika saat ini aku mendatangi ahli-ahli dunia, aku yakin aku akan membuat alasan-alasan bohong yang masuk akal agar aku terhindar dari kemarahannya, karena Allah Subhaanahu wata'ala telah memberiku karunia kepandaian bicara.

Namun, yang aku hadapi sekarang adalah Tuan. Aku paham, jika aku berbohong, walau Tuan menjadi  rela kepadaku, namun sebentar lagi Allah Subhaanahu wata'ala pasti akan memurkaiku. Sebaliknya, jika aku jujur sekarang, Tuan mungkin akan memarahiku, tetapi tidak lama kemudian, Allah Yang Maha Suci akan menghilangkan kemarahan  Tuan. Untuk itu, aku akan berkata jujur. Demi Allah, aku tidak ada udzur apa pun. Aku dalam keadaan bebas dan lapang yang tidak pernah kualami sebelumnya.'  Beliau bersabda,  'Dia berkata jujur.'  Kemudian beliau brsabda,  'Berdirilah, nanti Allah Subhaanahu Wata'ala memutuskan masalahmu.'

Aku pun pergi meninggalkan Baginda Nabi ﷺ dan banyak orang dari kaumku memarahiku,  'Bukankah engkau belum pernah berbuat dosa sedikit pun sebelumnya? Jika engkau meminta Baginda Nabi ﷺ memohonkan ampun bagimu, tentu itu telah cukup bagimu.'  Aku bertanya kepada mereka,  'Adakah orang lain diperlakukan seperti aku?'
Mereka memberitahu kepadaku, bahwa selain diriku ada dua orang lagi yang berbicara kepada Baginda Nabi ﷺ sepertiku dan mendapat jawaban yang sama. Mereka adalah Hilal bin Umayyah Radhiyallahu 'anhu dan Murarah bin Rabi' Radhiyallahu 'anhu. Aku tahu, kedua orang itu orang shalih yang telah ikut perang badar, keadaan mereka serupa dengangku (dan sikap mereka yang jujur kepada Baginda Nabi ﷺ adalah teladan bagiku). Kemudian Baginda Nabi ﷺ melarang orang-orang untuk berbicara dengan kami bertiga.' "

      Sudah menjadi kaidah, bahwah kemarahan kepada seseorang akan timbul karena adanya hubungan hati dengannya. Suatu peringatan hanyalah bagi mereka yang dapat menerimanaya. Sedangkan orang yang tidak layak untuk diperbaiki, maka siapakah yang mau memberi peringatan kepadanya?

      Sayyidina Ka'ab Radhiyallahu 'anhu selanjutnya berkata,  "Akibat larangan Baginda Rasulullah ﷺ, orang-orang tidak mau berbicara dengan kami dan mulai menjauhi kami. Bagi kami dunia seakan-akan berubah, sehingga dunia yang luas ini terasa sempit. Semua orang menjadi asing bagi kami dan paling mengganggu pikiranku adalah, aku khawatir jika aku meninggal dunia saat itu, apakah jenazahku akan dishalatkan oleh Baginda Rasulullah ﷺ atau tidak? Yang lebih aku takutkan lagi, jika Baginda Rasulullah ﷺ lebih dahulu wafat, aku akan selamanya dalam keadaan seperti ini, tanpa seorang pun berbicara dengangku, dan tak seorang pun yang berani menyalatkan jenazahku. Siapakah yang berani menentang perintah Baginda Nabi ﷺ ?'

          Demikianlah keadaan kami selama lima puluh hari. Sejak awal, dua orang kawanku hanya berdiam di dalam rumah. Sedangkan aku yang paling tegar di antara mereka. Aku masih berjalan ke pasar, dan ikut berjamaah di Masjid. Namun, tak seorang pun yang berani berbicara denganku. Aku sering  hadir di majelis Baginda Nabi ﷺ dan mengucapkan salam  dan penuh harap ada jawaban yang keluar dari bibir beliau yang mulia.

           Suatu ketika, setelah shalat berjamaah, aku berdiri shalat sunnah di dekat beliau. Aku melirik apakah beliau melihatku atau tidak. Ternyata, ketika aku sibuk dengan shalatku, beliau memandangku, tetapi ketika aku memandang beliau, beliau memalingkan wajah.
   
          Keadaan seperti ini terus berlangsung. Tidak bicaranya orang-orang Islam menjadi teramat bagiku, maka aku memanjat pagar rumah sepupuku, yang sangat akrab dengangku, Abu Qatadah Radhiyallahu 'anhu. Aku mengucapkan salam, tetapi ia tidak menjawab salamku. Aku bersumpah di hadapannya, lalu bertanaya,  'Bukankah engkau tahu aku mencintai Allah dan Rasul-Nya?'  Ia tidak menjawab pertanyaanku. Aku kembali bersumpah dan bertanya kepadanya. Namun, ia tetap tidak menjawab pertanyaanku. Ketika aku ulangi yang ketiga kalinya dengan bersumpah, ia hanya menjawab,  'Hanya Allah dan Rasul-Nya yang mengatahui.'  Mendengar jawabannya itu, aku langsung menangis. Lalu, meninggalkan tempat itu.

         Suatu saat, aku sedang berjalan-jalan di pasar Madinah. Kulihat seorang Qibti (Mesir) Nasrani datang dari Syam ke Madinah untuk berdagang. Aku mendengar ia berkata,  'Tolong tunjukkan rumah Ka'ab bin Malik !'  Orang-orang pun menunjuk ke arahku. Kemudian ia mendatangiku dan memberi sepucuk surat dari Raja Kafir yang memerintah di Negeri Ghassan. Tertulis di dalamnya: 'Kami telah mengatahui bahwa saat ini Anda sedang dizhalimi oleh pemimimpin Anda. Allah tidak akan membiarkan Anda dalam kehinaan dan menyia-nyiakan Anda. Maka datanglah kepada kami, kami akan menolong Anda.' "  (Sudah menjadi kebiasaan di dunia ini, jika seorang bawahan menerima peringatan dari pinpinannya, maka orang-orang yang ingin menyesatkan akan lebih memanasi dirinya, berpura-pura manasehati mereka, dan akan lebih membakar dengan kata-kata seperti itu).

       Sayyidina Ka'ab bin Malik Radhiyallahu 'anhu berkata,  "Setelah membaca surat tersebut, aku langsung mengucapkan,  'Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji'uun !'  Sampai seperti itukah keadaanku, sehingga orang-orang Kafir pun menginginkan diriku dan berusaha mengeluarkan aku dari Islam. Ini satu musibah lagi bagiku. Kuambil surat tersebut, lalu kucampakkan ke dalam tungku api. Kemudian aku mengunjungi Baginda Nabi ﷺ dan berkata,  'Ya Rasulullah, karena engkau berpaling, orang-orang kafir pun menghendaki diriku agar memasuki agama mereka,'

        Demikianlah keadaan yang menimpahku selama empat puluh hari. Hingga suatu saat, datanglah utusan Baginda Rasulullah ﷺ yang memerintahkan kami agar berpisah dengan istri-istri kami. Aku bertanya, 'Apakah maksudnya aku harus mencerainya?'  Jawabannya,  'Bukan, tetapi sekedar berpisah untuk sementara.'  Utusan itu pun mendatangi kedua temanku untuk  menyampaikan hal yang sama. Aku berkata pada istriku,  'Pulanglah ke rumah keluargamu dan tinggallah di sana selama Allah Subhaanahu wata'ala belum memutuskan masalah ini!'  Sedangkan istri Sayyidina Hilal bin Umayyah Radhiyallahu 'anhu menemui Baginda Nabi ﷺ dan menyampaikan,  'Hilal sudah sangat tua. Jika tidak ada yang mengurusnya, hal itu dapat membuatnya celaka. Jika Engkau mengizinkan dan tidak merasa keberatan, aku ingin merawatnya.'  Baginda Nabi ﷺ menyahut,  'Kamu boleh merawatnya, asalkan tidak berhubungan badan dengannya,'  Istrinya menjawab,  'Ya Rasulullah, ia sudah tidak memiliki keinginan lagi semenjak peristiwa ini menimpanya. Ia menghabiskan waktunya dengan menangis sampai sekarang,' "

        Sayyidina Ka'ab Radhiyallahu 'anhu melanjutkan kisahnya,  "Ada yang mengusulkan kepadaku agar aku juga berbuat seperti Hilal, yaitu meminta kepada Baginda Nabi ﷺ agar istriku merawatku. Mungkin aku akan diizinkan untuk tinggal dengan istri. Namun, aku menjawab,  'Hilal sudah tua, sedangkan aku masih muda. Aku tidak tahu apa jawaban Baginda Nabi ﷺ. Untuk itu , aku tidak berani meminta izin.'

Keadaan tersebut berjalan selama sepuluh hari, sehingga kehidupan dengan dikucilkan seperti ini, telah berjalan selama lima puluh hari. Pada hari kelima puluh, aku shalat shubuh di atas atap rumahku. Setelah itu aku duduk di tempat itu dengan bersedih hati. Bumi terasa sempit dan kehidupan terasa berat bagiku. Tiba-tiba dari arah bukit sala' (sebuah bukit di Madinah) terdengar suara keras,  'Hai Ka'ab, ada kabar gembira  untukmu !'  Demikianlah gembiranya aku, sehingga aku langsung sujud syukur dan menangis gembira. Aku tahu kesempitan ini sudah berakhir. Selepas shalat shubuh tadik, Baginda Rasulullah ﷺ mengumumkan ampunan bagi kami. Berita yang pertama kali kami dengar adalah dari orang yang membawa berita dari atas gunung itu.

Kemudian datang lagi seseorang yang berkuda membawa berita yang sama. Karena begitu gembira, langsung kulepaskan pakaian sedang kupakai dan kuhadiahkan kepada pembawa berita tersebut. Demi Allah, saat itu aku tidak memiliki lagi pakaian kecuali pakaian yang kupakai itu. Lalu menghadap Baginda Rasulullah ﷺ. Kabar gembira ini pun telah disampaikan kepada kedua temanku.

Setibanya di Masjid, para shahabat Radhiyallahu 'anhum yang sedang mengelilingi Baginda Nabi ﷺ berlarian ke arahku untuk memberi selamat kepadaku. Yang pertama kali memberi selamat ialah Thalhah bin Ubaidillah Radhiyallahu 'anhu.*   Ia memluk dan menyalamiku. Sikapnya itu selalu aku kenang. Kemudian kudekati tempat duduk Baginda Nabi ﷺ dan memberi salam kepadanya. Tampak wajah beliau berseri-seri dan memancarkan cahaya kegembiraan. Wajah Baginda Nabi ﷺ yang penuh berkah, pada saat bergembira akan bercahaya seperti bulan purnama.  Aku berkata,  'Ya Rasulullah, untuk menyempurnakan taubatku, aku ingin menyedehkahkan seluruh kekayaanku di jalan Allah. Sebab, harta inilah yang telah menjerumuskanku ke dalam musibah besar.'  Beliau bersabda,  'Nanti kamu akan mengalami kesulitan. Sebaiknya, sisakan sebagian harta itu untukmu.'  Maka aku sedekahkan seluruh hartaku kecuali harta rampasan yang kuperoleh di Khaibar. Aku merasa bahwa kejujuranlah yang telah menyelamatkanku. Oleh sebab itu, aku berjanji selalu berkata jujur.' "
(dari Kitab Durrul Mantsur dan Kitab Fathul Bari)

•┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈┈•
Dalam naskah Urdu ditulis Abu Thalhah, yang benar adalah Thalhah bin Ubaidillah, sebagaimana tertulis didalam sumber aslinya
(dari Kitab Durrul Mantsur dan Fathul Bari)

FAIDAH
        Demikianlah teladan ketaatan para shahabat Radhiyallahu 'anhum, kekuatan agama, dan ketakwaan mereka kepada Allah Subhaanahu wata'ala. Meskipun sebelumnya mereka selalu mengikuti berbagai peperangan, namun karena sekali saja tidak mengikutinya, mereka mendapatkan hukuman berupa pengucilan selama lima puluh hari. Walaupun demikian, mereka tetap menjalaninya dengan penuh ketaatan dan keridhaan. Harta yang menyebabkan mereka lalai, mereka sedekahkan di jalan Allah Subhaanahu wata'ala.

         Peringatan Allah Subhaanahu wata'ala dan berpalingnya Baginda Nabi ﷺ menjadikan orang-orang Kafir menyangka iman mereka menjadi lemah, sehingga orang-orang Kafir menghendaki agar Sayyidina Ka'ab bin Malik Radhiyallahu 'anhu menjadi murtad. Tetapi ternyata iman mereka tetap teguh.

         Kita juga orang Islam, firman Allah Subhaanahu wata'ala dan sabda Baginda Nabi ﷺ ada di depan kita. Namun, perintah Allah Subhaanahu wata'ala yang paling besar  setelah iman, yaitu shalat, berapakah diantara kita yang mengerjakannya? Orang yang mengerjakannya pun, bagaimana cara mengerjakannya? Apalagi zakat dan haji, yang memerlukan pengorbanan harta .

Sekian Kisah Taubatnya Sayyidina Ka'ab bin Malik Radhiyallahu 'anhu .Karena Tidak Ikut Dalam Perang Tabuk .
Semoga kisah di atas bisa memberikan manfaat yang sebesar-besar nya ke pada para pembaca.

Sumber : Di ambil dari grup WA dengan sedikit editan. Mohon maaf bila ada kekurangan dan kesalahan . Terima kasih

Wassalamu'alaikum wr.wb

Artikel Kisah Islami :



NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
 

Delivered by FeedBurner